Wednesday, April 16, 2008

Sempat Berpikir Lebih Baik Mati daripada Melanjutkan Kemo

2 September 2007

Pengalaman Pribadi Menjalani Transplantasi Liver ( 8 )

Oleh:
Dahlan Iskan
iskan@jawapos.co.id


Saya sudah biasa dengan sikap untuk tidak berharap banyak pada apapun dan pada siapapun. Ini, menurut pendapat saya, baik. Karena akan membuat saya merasa lebih bahagia. Setidaknya tidak akan membuat saya terlalu kecewa.

Bukankah bahagia dan kecewa sebenarnya bisa kita ciptakan sendiri? Orang akan merasa bahagia kalau keinginannya tercapai. Orang akan merasa kecewa kalau keinginannya tidak tercapai.

Maka, ini saya, untuk mencapai kebahagiaan sangatlah mudah: jangan pasang keinginan terlalu tinggi. Jangan menaruh harapan terlalu banyak.

KALAU saya sangat tahan menerima penderitaan selama di ICU, bukan saya jagoan dalam menerima rasa sakit. Bukan. Saya pernah mengalami rasa sakit sampai tidak tahan lagi menanggungkannya. Saya pernah mengalami rasa sakit yang “sampai nggak bisa dirasakan”. Yakni, ketika setahun lalu harus menjalani kemoterapi. Waktu itu diketahui (lewat scanner) bahwa di liver saya sudah ada kankernya. Lalu kanker itu dicoba dibunuh dengan cara di-TACE. Lalu dikemo. (Kelak akan saya jelaskan apa itu di-TACE).

Setelah dikemo itu, rasanya luar biasa tidak karuan. Yakni sakit, mual, mulas, kembung, melintir-lintir, dan entah berapa jenis rasa sakit menjadi satu. Sampai-sampai saya tak bisa memisah-misahkan bentuk sakitnya itu terdiri atas berapa macam rasa sakit.

Dalam hal ini saya merasa kalah dengan Sara, salah satu manajer keuangan saya. Dia muda, cantik, tinggi, dan diserang kanker. Dia harus menjalani kemo berpuluh kali hingga kepalanya gundul. Kini dia kembali cantik dan sudah melupakan penderitaan kemonya.

Sedang saya tidak tahan. Saya bilang kepada Robert Lai yang menunggui saya di Singapura, kalau dalam satu hari itu tidak juga reda, saya pilih mati. Tidak ada gunanya hidup dalam keadaan seperti itu. Saya minta mati saja, kata saya kepadanya. Lalu dia lapor ke dokter. Saya diberi obat tertentu. Pasti painkiller. Pelan-pelan rasa tidak karu-karuannya berkurang.

Tapi, saya kemudian memutuskan tidak mau lagi dikemo. Tidak tahan. Saya akan cari jalan lain saja. Atau lebih baik mati saja. Toh saya sudah berumur 55 tahun. Sudah berbuat sesuatu yang lumayan. Juga sudah melebihi umur ibu saya, atau umur kakak saya, atau umur paman-paman saya.

Ini bukan untuk menunjukkan bahwa saya pernah hampir putus asa, melainkan untuk menunjukkan kekaguman saya kepada orang-orang yang mampu menjalani kemo berkali-kali. Mereka jelas lebih hebat dari saya.

***

Hari pertama di ICU itu saya tidak merasa mengantuk. Hanya, mata terus terpejam. Rasanya saya tidak punya kekuatan untuk membuka kelopak mata saya sendiri. Sambil mata tetap terpejam pikiran saya jalan ke mana-mana. Ke Surabaya, ke Medan, Bengkulu, Batam sampai ke Palu. Saya juga suka memperhatikan kesibukan di ruang ICU itu. Memperhatikan dengan mata terpejam. Semua saya catat dalam ingatan saya. Dasar bekas wartawan! Kata hati saya.

Memperhatikan apa saja yang terjadi di ICU itu membuat perhatian saya terbagi. Ini baik. Karena tidak melulu tercurah ke rasa sakit. Perhatian saya menjadi tidak hanya kepada banyaknya selang yang menancap di sekujur tubuh. Saya juga bisa melupakan rasa penat akibat tekad saya sendiri untuk tidak akan menggerakkan tubuh sedikit pun selama 24 jam. Yakni, agar tidak berakibat buruk pada luka-luka operasi saya. Baik luka di kulit akibat sayatan pisau atau luka di dalam akibat terjadinya penyambungan-penyambungan pembuluh darah.

Tak terasa sore pun tiba. Sore itu, satu selang yang dimasukkan lewat leher kanan saya dicabut, dilepas. Agak lega sedikit. Tapi, masih ada dua selang yang menancap di leher yang dilubangi itu. Agak lebih sore lagi, selang yang dimasukkan ke rongga perut lewat lubang hidung juga dicabut. Lebih lega lagi. Saya terus berharap, selang-selang itu satu per satu akan dilepas. Saya tidak mau bertanya jadwal melepaskan selang-selang sisanya. Khawatir berharap terlalu banyak. Saya sudah biasa dengan sikap untuk tidak berharap banyak pada apa pun dan pada siapa pun. Ini, menurut pendapat saya, baik. Karena akan membuat saya merasa lebih bahagia. Setidaknya tidak akan membuat saya terlalu kecewa.

Bukankah bahagia dan kecewa sebenarnya bisa kita ciptakan sendiri? Orang akan merasa bahagia kalau keinginannya tercapai. Orang akan merasa kecewa kalau keinginannya tidak tercapai. Maka, ini saya, untuk mencapai kebahagiaan sangatlah mudah: Jangan pasang keinginan terlalu tinggi. Jangan menaruh harapan terlalu banyak.

Dulu pun saya hanya ingin Jawa Pos menjadi koran yang oplahnya separonya dari Surabaya Post. Tidak perlu lebih besar dari itu. Waktu itu, rasanya tidak mungkin mengejar Surabaya Post yang sudah merajalela kehebatannya.

Baru setelah ternyata mudah sekali membuat koran yang bisa sebesar 50 persennya Surabaya Post, meningkatlah keinginan untuk bisa sebesar Surabaya Post. Keinginan itu meningkat terus secara bertahap, sehingga menjadi seperti Grup Jawa Pos sekarang.

Sebuah koran nasional dari daerah dengan oplah lebih dari 300 ribu eksemplar per hari. Ini belum termasuk koran-koran Grup Jawa Pos yang terbit di Jakarta dan di kota-kota lain di luar pulau. Bahkan, koran ini berkembang sedemikian rupa hingga menjadi sebuah grup media yang membawahkan lebih dari 100 koran harian dan mingguan, delapan televisi lokal, pabrik kertas, dan power plant.

Jadi, kalau ada yang menganalisis bahwa saya punya grand design untuk membuat Jawa Pos seperti sekarang, tidaknya begitu kenyataannya.

Hanya desain-desain kecil yang saya buat. Tapi, saya wujudkan dengan konstan. Dengan istikamah, dalam istilah Pesantren Miftahul Ulum Al Islami, Kedungdung, pimpinan KH Ilyas Khotib, di Bangkalan, Madura. Saya punya prinsip semuanya sebaiknya mengalir saja seperti air. Hanya, kalau bisa, alirannya yang deras. Batu pun kadang bisa menggelundung, kalah dengan air yang deras.

Itu menangnya orang yang tidak punya cita-cita tinggi sejak awal. Hidupnya lebih fleksibel. Karena tidak punya cita-cita, kalau dalam perjalanannya menghadapi batu besar, ia akan membelok. Tapi, kalau orang berpegang teguh pada cita-cita, bertemu batu pun akan ditabrak. Iya kalau batunya yang menggelundung, lha kalau kepalanya yang pecah gimana? Cita-cita saya semula hanya ingin punya sepatu, biar pun rombengan. Lalu ingin punya sepeda. Rasanya, waktu pertama punya sepeda (juga bekas) bahagianya melebihi saat punya Jaguar. Padahal, sepeda itu pernah putus as rodanya sehingga tidak bisa dinaiki. Bahkan, dituntun pun tidak bisa. Terpaksalah saya menggendongnya. Menggendong dengan bahagia.

Malamnya saya juga tidak mengantuk. Mungkin sudah kelamaan ditidurkan! Yakni, 18 jam dibius. Malam itu saya menyaksikan kerja perawat di ruang ICU yang luar biasa sibuknya. Perawat shift malam itu mulai bekerja pukul 19.00 dan baru akan pulang pukul 07.00 keesokan harinya. Sepanjang malam mereka bekerja tanpa istirahat sedikit pun. Ini karena tiap tiga perawat mengurus lima pasien ICU. Semuanya baru saja menjalani penggantian organ tubuh. Ada yang ganti liver seperti saya, ada yang ganti ginjal, ada yang ganti jantung. Tiap-tiap pasien memerlukan begitu banyak obat, begitu banyak macam cairan infus, begitu banyak alat deteksi yang terus-menerus harus dipantau, diganti, dan dicatat.

Dan, yang juga tak kalah penting adalah dibuatkan invoice-nya untuk menagihkan kepada pasien. Maka setiap habis menggunakan bahan, harus dicatat berapa harganya dan lalu di-invoice-kan. Ini penting sekali, bagi RS tentunya. Sebab, kalau salah dalam meng-invoice-kan, berarti rumah sakit akan menderita. Yakni, menderita kerugian.

Setiap ada kesempatan saya selalu memuji mereka. “Anda luar biasa sekali. Satu malam suntuk bekerja tanpa istirahat,” kata saya. “Untung Anda masih sangat muda. Kalau sudah tua, nggak mungkin bisa bekerja tanpa henti dengan konsentrasi tinggi sepanjang malam,” kata saya. “Terima kasih,” jawabnya.

Saya tahu dia akan libur besoknya. Jadi masih lumayan. Berbeda dengan muda saya dulu. Saya ingat waktu itu, waktu mulai membangun Jawa Pos dari sebuah koran yang hampir bangkrut, saya harus bekerja sepanjang malam. Besoknya tidak pakai libur. Bahkan, sudah harus bekerja sejak pagi lagi. Sampai malam lagi. Begitu seterusnya. Tidak libur. Besoknya sepanjang malam lagi, sepanjang siang lagi dan sepanjang malam lagi. Tujuh hari seminggu, 30 hari sebulan, 360 hari setahun. Selama kira-kira 15 tahun berturut-turut.

Inilah yang membuat organ di dalam tubuh saya menderita. Liver saya kalah. Dia sebenarnya sudah lama menangis-nangis minta diperhatikan. Sudah lama minta untuk tidak diperlakukan seperti itu. Sudah lama komplain ke sana kemari. Namun, karena tidak dipedulikan, lantas ngambek seperti ini. Lalu minta diistirahatkan seterusnya. (bersambung)

1 comment:

gravity said...

belum tahu harus berkata apa....masih bersambung